Monday, December 10, 2018

Biografi Hugo De Groot beserta Pemikiran dan Aliran Filsafat Hukum

Biografi Hugo De Groot beserta Pemikiran dan Aliran Filsafat Hukum
Hugo de Groot atau yang biasa lebih di kenal sebagai Gratius merupakan seorang tokoh pemikir Belanda kaliber internasional dengan segudang karya yang monumental yang tentu saja karya nya digunakan dalam rujukan masyrakat internasional. Bukan hanya itu pemikiran Grotius juga sangat berguna dan relatif abadi sejarah dunia.
Grotius atau Hugo de Groot yang dalam bahasa latin disebut dengan Huig De Groot lahir di kota Delft, Belanda pada tanggal 10 April 1583. Grotius memulai karir akademiknya di Universitas Laiden pada usia sebelas tahun pada 1594, sehingga ia dijuluki sebagai anak yang dewasa sebelum waktunya. Karena kecerdasannya, Grous kemudian menjadi murid dari para ilmuwan terkenal dari Belanda. Berbeda dengan anggapan masyarakat pada umumnya yang menganggap Grous hanya menekuni bidang hukum, faktanya dia memina banyak cabang ilmu yang ditawarkan di universitas. Di didik dalam tradisi pendidikan yang humanis memberikan pengaruh khusus kepada Grous yang membawanya menjadi sosok sastrawan Lan dan juga ahli sejarah kenamaan.[1]
Grous lulus dari Universitas Leiden pada tahun 1597 kemudian bergabung dengan Jusn van Nasau dan Johan van Oldenbarnevelt dalam suatu misi diplomak ke Prancis yang bertujuan untuk mencegah Prancis melakukan perjanjian perdamaian dengan Spanyol, karena Belanda terlibat perang untuk memerdekakan diri dari Spanyol.  Meskipun demikian, Grous dak memainkan peran diplomat resmi, hanya mendampingi gurunya Oldenbarnevelt. Meskipun misi diplomak tersebut tidak sepenuhnya sukses, namun sangat berarti bagi Grous, karena dia mendapat pujian dari Raja sebagai “the miracle of Holland”. Yang lebih penng, satu tahun kemudian Grous dianugerahi doktor ilmu hukum dari University of Orleans yang dikemudian hari akan menjadi modal penng atas kontribusinya dalam sejarah pertumbuhan hukum internasional.[2]
Pada tahun 1601 Grous mulai berkarir sebagai sejarawan yang antara lain menulis mengenai legitimasi perjuangan kemerdekaan Belanda dari Pemerintah Spanyol yang dituangkan dalam bukunya De Anquitate Reipublicae Batavicae (The Anquity of the Batavian Republic). Tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1604 ketika usianya menginjak 23 tahun, Grous membuka kantor hukum dan salah satu klien utamanya adalah Dutch East India Company. Sebagai praksi hukum Grous terlibat dalam penyelesaian sengketa hukum antara Portugis dan Belanda dalam masalah perdagangan di Selat Malaka pada tahun 1602. Buah dari keterlibatannya, Grous kemudian menulis buku dengan judul De Jure Praedae (Rampasan yang legal). Meskipun buku tersebut tidak tuntas namun berisi argumentasi hukum Grous dalam kasus tersebut. Tanpa alasan yang jelas, Grous tidak pernah menerbitkan buku tersebut. Manuskrip tersebut kemudian ditemukan di sebuah pelelangan pada tahun 1864. Salah satu bagian penting dari manuskrip tersebut adalah bab yang membahas mengenai konsep Mare Liberum (Laut Bebas) yang berisi argumentasi hukum untuk mempertahankan hak berdagang Dutch East India Company dalam negosiasi 11 tahun gencatan senjata antara Spanyol dan Belanda pada tahun 1609.[3]
Mare Liberum mendapat respon serius dari kalangan ilmuwan. Pada tahun 1612 buku tersebut ditempatkan dalam daftar buku terlarang oleh lembaga Inkuisisi Spanyol (Spanish Inquision) dan pada tahun 1625 para ilmuwan Portugis di Universitas Valladolid yang dipimpin oleh Guru Besar Hukum Kanonik Serafim de Freitas menerbitkan buku dengan judul De justo imperio Lusitanorum Asiaco sebagai bantahan terhadap Mare Liberum. Yang paling masyhur adalah bantahan dari ilmuwan Inggris, John Selden yang mempublikasikan bukunya pada tahun 1636 dengan judul provokaf dan menantang, Mare Clausum. Perdebatan panas antara Grous dan Selden, antara Mare Liberum versus Mare Clausum  ini masyhur dengan islah ‘Bale of the Book’. 
Sebagai seorang Teolog, pada tahun 1611 Grous menerbitkan buku dengan judul Meleus sive de iis quae inter Chrisanos conveniunt epistola (Meleus or Leer on the Points of Agreement between Chrisans) yang berisi gagasan mengenai persatuan Kristen. Buku teologi berikutnya diterbitkan tahun 1617 dengan judul Defensio Fidei Catholicae de Sasfacone (A Defence of the Catholic Faith Concerning the Sasfacon of Christ, Against Faustus Socinus). Karya tersebut melibatkan Grous pada pemikiran kontroversial mengenai keagamaan pada waktu itu.
Grous dan rekannya sekaligus juga gurunya Johan van Oldenbarnevelt ditangkap pada tanggal 29 Agustus tahun 1618 atas laporan lawan poliknya untuk suatu kesalahan yang dak jelas. Namun penahanan ini menjadi berkah tersendiri bagi Grous, karena selama di penjara dia dapat menuntaskan beberapa karya tulisnya antara lain De Veritate Religionis Chrisaniae dan Inleiding tot de Hollandsche Rechtsgeleertheyd (Introducon to the Jurisprudence of Holland). Karya tulis lainnya yang diselesaikan adalah De Jure Belli ac Pacis yang mulai ditulis pada tahun 1622 dan dipublikasikan pada tahun 1625. Buku ini merupakan magnum opus dari Grous dan menjadi idenk dengan dirinya. Penulisan buku ini dimotivasi oleh situasi sosial poltiik yang penuh gejolak keka itu dan kerusakan akibat Perang Tiga Puluh Tahun. [4]Grous meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus1645 pada usia 62 tahun dan dimakamkan di kota Rostock, Mecklenburg-Schwerin.[5]
Pemikiran menurut Grous sumber hukum alam adalah rasionalitas manusia. Dengan perkataan lain, Grous melakukan sekulerisasi hukum alam. Hal ini dilakukan Grous sebagai bagian dari reformasi di kawasan Eropa Utara dengan menumpang reformasi gereja yang dilakukan oleh kaum Kristen Protestan.
Dengan pola pikir yang menolak teologi Katolik Roma dan juga menolak paham hukum alam ala kaum Thomist, Grous lebih memilih nalar (akal budi manusia) sebagai sumber hukum alam dengan meminjam konsep Plato mengenai nalar sosial umat manusia (social nature of humankind). Dalam konteks ini eksistensi hukum alam dipahami sebagai perwujudan dari akal budi manusia, yaitu kehendak untuk hidup bersama dalam masyarakat. Jadi, menurut Grous yang alami itu (nature) sekaligus juga yang rasional itu adalah keinginan manusia untuk hidup di masyarakat. Maka, hukum alam menurut Grous adalah hukum yang berbasis kepada akal budi manusia.
Dengan menetapkan prinsip bahwa hukum alam itu tetap berlaku, meskipun tanpa kehadiran Tuhan, Grous sebenarnya ingin menghilangkan dominasi doktrin Kristen, sehingga masyarakat di luar penganut Kristen dapat mengiku dan mena hukum khususnya hukum perang dan damai.
Jika dianalisis, pemikiran Grous lebih masuk ke dalam aliran hukum kodrat karena dia berpendapat bahwa sumber hukum adalah rasionalitas manusia. Dan jika dilihat dari empat prinsip hukum kodrat yaitu prinsip-prinsip universal yang berlaku abadi, kriteria dan prinsip didasarkan pada alam, Tuhan dan ratio manusia, manusia dapat menemukan prinsip-prinsip tersebut melakui akal,  dan prinsip-prinsip tersebut diproyeksi menjadi pedoman hukum bagi hukum positif (buatan manusia).



[1] Atip Latipatulhayat, 2018, Khazanah: Grotius. Jurnal Unpad vol. 4, hlm. 209-210.
[2] Ibid.hlm. 210
[3] Hugo Grous,2004, Mare Liberum (The Free Sea), trans. Richard Hakluyt, ed. David Armitage, Indianapolis: Liberty Fund.
[4] Yasuaki Onuma, 1993, Introducon to A Normave Approach to War: Peace, War and Jusce in Hugo Grous, Oxford: Clarendon Press, hlm. 8.
[5] Yasuaki Onuma, 2018, Hugo Grotius, Encyclopædia Britannica, inc.

No comments:

Post a Comment