Biografi Hugo De Groot beserta Pemikiran dan Aliran Filsafat Hukum
Hugo de Groot atau yang biasa lebih di
kenal sebagai Gratius merupakan seorang tokoh pemikir Belanda kaliber
internasional dengan segudang karya yang monumental yang tentu saja karya nya
digunakan dalam rujukan masyrakat internasional. Bukan hanya itu pemikiran
Grotius juga sangat berguna dan relatif abadi sejarah dunia.
Grotius atau Hugo de Groot yang dalam
bahasa latin disebut dengan Huig De Groot lahir di kota Delft, Belanda pada
tanggal 10 April 1583. Grotius memulai karir akademiknya di Universitas Laiden
pada usia sebelas tahun pada 1594, sehingga ia dijuluki sebagai anak yang dewasa
sebelum waktunya. Karena kecerdasannya, Grous kemudian menjadi murid dari para
ilmuwan terkenal dari Belanda. Berbeda dengan anggapan masyarakat pada umumnya
yang menganggap Grous hanya menekuni bidang hukum, faktanya dia memina banyak
cabang ilmu yang ditawarkan di universitas. Di didik dalam tradisi pendidikan
yang humanis memberikan pengaruh khusus kepada Grous yang membawanya menjadi
sosok sastrawan Lan dan juga ahli sejarah kenamaan.[1]
Grous lulus dari Universitas Leiden pada
tahun 1597 kemudian bergabung dengan Jusn van Nasau dan Johan van Oldenbarnevelt
dalam suatu misi diplomak ke Prancis yang bertujuan untuk mencegah Prancis
melakukan perjanjian perdamaian dengan Spanyol, karena Belanda terlibat perang
untuk memerdekakan diri dari Spanyol.
Meskipun demikian, Grous dak memainkan peran diplomat resmi, hanya
mendampingi gurunya Oldenbarnevelt.⁴
Meskipun misi diplomak tersebut tidak sepenuhnya sukses, namun sangat berarti
bagi Grous, karena dia mendapat pujian dari Raja sebagai “the miracle of
Holland”. Yang lebih penng, satu tahun kemudian Grous dianugerahi doktor ilmu
hukum dari University of Orleans yang dikemudian hari akan menjadi modal penng
atas kontribusinya dalam sejarah pertumbuhan hukum internasional.[2]
Pada tahun 1601 Grous mulai berkarir sebagai
sejarawan yang antara lain menulis mengenai legitimasi perjuangan kemerdekaan
Belanda dari Pemerintah Spanyol yang dituangkan dalam bukunya De Anquitate Reipublicae Batavicae (The
Anquity of the Batavian Republic). Tiga tahun kemudian yaitu pada tahun
1604 ketika usianya menginjak 23 tahun, Grous membuka kantor hukum dan salah
satu klien utamanya adalah Dutch East
India Company. Sebagai praksi hukum Grous terlibat dalam penyelesaian
sengketa hukum antara Portugis dan Belanda dalam masalah perdagangan di Selat
Malaka pada tahun 1602. Buah dari keterlibatannya, Grous kemudian menulis buku
dengan judul De Jure Praedae (Rampasan
yang legal). Meskipun buku tersebut tidak tuntas namun berisi argumentasi hukum
Grous dalam kasus tersebut. Tanpa alasan yang jelas, Grous tidak pernah
menerbitkan buku tersebut. Manuskrip tersebut kemudian ditemukan di sebuah
pelelangan pada tahun 1864. Salah satu bagian penting dari manuskrip tersebut
adalah bab yang membahas mengenai konsep Mare Liberum (Laut Bebas) yang berisi argumentasi hukum untuk mempertahankan
hak berdagang Dutch East India Company
dalam negosiasi 11 tahun gencatan senjata antara Spanyol dan Belanda pada tahun
1609.[3]
Mare Liberum mendapat respon serius dari
kalangan ilmuwan. Pada tahun 1612 buku tersebut ditempatkan dalam daftar buku
terlarang oleh lembaga Inkuisisi Spanyol (Spanish
Inquision) dan pada tahun 1625 para ilmuwan Portugis di Universitas
Valladolid yang dipimpin oleh Guru Besar Hukum Kanonik Serafim de Freitas
menerbitkan buku dengan judul De justo
imperio Lusitanorum Asiaco sebagai bantahan terhadap Mare Liberum. Yang
paling masyhur adalah bantahan dari ilmuwan Inggris, John Selden yang
mempublikasikan bukunya pada tahun 1636 dengan judul provokaf dan menantang,
Mare Clausum. Perdebatan panas antara Grous dan Selden, antara Mare Liberum
versus Mare Clausum ini masyhur dengan
islah ‘Bale of the Book’.
Sebagai seorang Teolog, pada tahun 1611
Grous menerbitkan buku dengan judul Meleus sive de iis quae inter Chrisanos
conveniunt epistola (Meleus or Leer on the Points of Agreement between
Chrisans) yang berisi gagasan mengenai persatuan Kristen. Buku teologi
berikutnya diterbitkan tahun 1617 dengan judul Defensio Fidei Catholicae de
Sasfacone (A Defence of the Catholic Faith Concerning the Sasfacon of Christ,
Against Faustus Socinus). Karya tersebut melibatkan Grous pada pemikiran
kontroversial mengenai keagamaan pada waktu itu.
Grous dan rekannya sekaligus juga gurunya
Johan van Oldenbarnevelt ditangkap pada tanggal 29 Agustus tahun 1618 atas
laporan lawan poliknya untuk suatu kesalahan yang dak jelas. Namun penahanan
ini menjadi berkah tersendiri bagi Grous, karena selama di penjara dia dapat
menuntaskan beberapa karya tulisnya antara lain De Veritate Religionis
Chrisaniae dan Inleiding tot de Hollandsche Rechtsgeleertheyd (Introducon to
the Jurisprudence of Holland). Karya tulis lainnya yang diselesaikan adalah De
Jure Belli ac Pacis yang mulai ditulis pada tahun 1622 dan dipublikasikan pada
tahun 1625. Buku ini merupakan magnum opus dari Grous dan menjadi idenk dengan
dirinya. Penulisan buku ini dimotivasi oleh situasi sosial poltiik yang penuh
gejolak keka itu dan kerusakan akibat Perang Tiga Puluh Tahun. [4]Grous
meninggal dunia pada tanggal 28 Agustus1645 pada usia 62 tahun dan dimakamkan
di kota Rostock, Mecklenburg-Schwerin.[5]
Pemikiran menurut Grous sumber hukum
alam adalah rasionalitas manusia. Dengan perkataan lain, Grous melakukan
sekulerisasi hukum alam. Hal ini dilakukan Grous sebagai bagian dari reformasi
di kawasan Eropa Utara dengan menumpang reformasi gereja yang dilakukan oleh
kaum Kristen Protestan.
Dengan pola pikir yang menolak teologi
Katolik Roma dan juga menolak paham hukum alam ala kaum Thomist, Grous lebih
memilih nalar (akal budi manusia) sebagai sumber hukum alam dengan meminjam
konsep Plato mengenai nalar sosial umat manusia (social nature of humankind).
Dalam konteks ini eksistensi hukum alam dipahami sebagai perwujudan dari akal
budi manusia, yaitu kehendak untuk hidup bersama dalam masyarakat. Jadi,
menurut Grous yang alami itu (nature) sekaligus juga yang rasional itu adalah
keinginan manusia untuk hidup di masyarakat. Maka, hukum alam menurut Grous
adalah hukum yang berbasis kepada akal budi manusia.
Dengan menetapkan prinsip bahwa hukum
alam itu tetap berlaku, meskipun tanpa kehadiran Tuhan, Grous sebenarnya ingin
menghilangkan dominasi doktrin Kristen, sehingga masyarakat di luar penganut
Kristen dapat mengiku dan mena hukum khususnya hukum perang dan damai.
Jika dianalisis, pemikiran Grous lebih
masuk ke dalam aliran hukum kodrat karena dia berpendapat bahwa sumber hukum
adalah rasionalitas manusia. Dan jika dilihat dari empat prinsip hukum kodrat
yaitu prinsip-prinsip universal yang berlaku abadi, kriteria dan prinsip
didasarkan pada alam, Tuhan dan ratio manusia, manusia dapat menemukan
prinsip-prinsip tersebut melakui akal,
dan prinsip-prinsip tersebut diproyeksi menjadi pedoman hukum bagi hukum
positif (buatan manusia).
[1] Atip Latipatulhayat, 2018, Khazanah: Grotius. Jurnal Unpad vol. 4,
hlm. 209-210.
[2] Ibid.hlm. 210
[3] Hugo Grous,2004, Mare Liberum (The Free Sea), trans.
Richard Hakluyt, ed. David Armitage, Indianapolis: Liberty Fund.
[4] Yasuaki Onuma, 1993, Introducon to A Normave Approach to War:
Peace, War and Jusce in Hugo Grous, Oxford: Clarendon Press, hlm. 8.
[5] Yasuaki Onuma, 2018, Hugo Grotius, Encyclopædia Britannica,
inc.
No comments:
Post a Comment