Biografi SAINT AGUSTINUS beserta Pemikiran dan Aliran Filsafat Hukum
Agustinus dilahirkan pada 13 November 354 di Thagaste, Afrika utara (bagian dari kerajaan Romawi) dalam sebuah keluarga “setengah” kristiani. Ibunya Monica (tokoh utama dalam “Confessiones”) adalah seorang penganut agama kristiani, ayahnya bukan pemeluk agama kristiani, hingga menjelang wafat. Monica mendidik Agustinus secara kristiani, tetapi ia sendiri melukiskan masa mudanya sebagai saat-saat sebelum pertobatan. Agustinus menempuh pendidikan dasar di Thagaste, lalu pindah ke selatan (Madauros), lalu kembali lagi ke Karthago untuk belajar Rhetorik, menjelang kematian ayahnya pada tahun 370. Di sana ia hidup bersama dengan seorang konkubinat dan memiliki seorang anak (372) yang bernama Adeodatus. Pada waktu itu pula ia berkenalan dengan karya Ciceoro (Hortensius) yang mendorong dia untuk kemudian mempelajari filsafat/kebijaksanaan.[1]
Agustinus dilahirkan pada 13 November 354 di Thagaste, Afrika utara (bagian dari kerajaan Romawi) dalam sebuah keluarga “setengah” kristiani. Ibunya Monica (tokoh utama dalam “Confessiones”) adalah seorang penganut agama kristiani, ayahnya bukan pemeluk agama kristiani, hingga menjelang wafat. Monica mendidik Agustinus secara kristiani, tetapi ia sendiri melukiskan masa mudanya sebagai saat-saat sebelum pertobatan. Agustinus menempuh pendidikan dasar di Thagaste, lalu pindah ke selatan (Madauros), lalu kembali lagi ke Karthago untuk belajar Rhetorik, menjelang kematian ayahnya pada tahun 370. Di sana ia hidup bersama dengan seorang konkubinat dan memiliki seorang anak (372) yang bernama Adeodatus. Pada waktu itu pula ia berkenalan dengan karya Ciceoro (Hortensius) yang mendorong dia untuk kemudian mempelajari filsafat/kebijaksanaan.[1]
Dalam
rangka mencari kebijaksanaan itu ia mulai membaca Kitab Suci, tetapi kemudian
kecewa pada isinya dan kemudian berpaling pada aliran Manikeisme. Gerakan ini
dirintis oleh seorang Persia bernama Mani (216-276/277). Agustinus tertarik
pada aliran ini karena terkesan pada para penganut Manikeisme tingkat tinggi
yang mempraktekkan askese yang ketat. Pada fase ini ia menulis sebuah karya
tentang estetika berjudul ‘De pulchro et apto’. [2]
Tahun
382 menjadi tahun yang mengecewakan bagi Agustinus karena kunjungan dari
Faustus, salah seorang uskup manikeis termasyur yang ternyata di mata Agustinus
tidak cemerlang, dan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis
aktual. Ia pun lari meninggalkan Karthago dan melawan kehendak ibunya, pergi ke
Roma. Setelah sempat mengalami sakit keras, ia pindah ke kota Milan. Di kota
inilah dia kemudian berjumpa dengan seorang ahli pidato, Uskup Milan termasyur,
yaitu Ambrosius yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran platonisme. Pada fase
inilah Agustinus mulai lebih serius mempelajari kekristenan. Ia sendiri
menyebut fase ini sebagai fase pencerahan. “Terang kepastian itu merasuki hati
saya dan segala keraguan kegelapan pun lenyap”.
Ia
pun mengakhiri karier duniawinya. Pada perayaan Paskah 387 Ambrosius membabtis
Agustinus dan ayahnya di Milan. Ibunya meninggal pada tahun tersebut. Tahun
390/391 ia ditahbiskan menjadi imam dan pada maret 392 menyampaikan kotbahnya
untuk pertamakalinya. Tiga tahun kemudian ia menjadi Uskup.
Karena
karya-karyanya yang banyak dan berbobot, Agustinus menjadi figur penting bagi
perkembangan kekristenan di Afrika Utara. Disput Agustinus melawan Manikeisme
menghasilkan karya-karya berikut: De utilitate credenda, De duabus animabus,
Contra Aimantum). Pada tahun 400-411 ia menghasilkan 20 tulisan melawan aliran
lain bernama Donatisme (kelompok elit kekristenan yang menganut paham
eklesiologi yang eksklusif). Lawan berikut Agustinus tentu saja kemudian adalah Pelagius
(360-435). Selama dua puluhan tahun disput melawan Pelagius, Agustinus
melahirkan banyak buku dan tulisan (De peccatorum meritis et remissione, De
natura et gratia, De gestis Pelagii, dll).
Akan
tetapi karya Agustinus yang paling termasyur dan original adalah dua karya
berikut: De trinitate (399-419) dan De civitate Dei (413-426/27). De trinitate
berisi refleksi filosofis, teologis, eksegetis tentang Allah Tritunggal, serta
memuat pula aneka analogi tentang Allah Tritunggal sebagaimana dapat kita
temukan dalam diri manusia (Antropologi). Sedangkan dalam De civitate Dei
disajikan bentuk apologia kristiani berkaitan dengan pemaknaan sejarah (teologi
sejarah). Secara keseluruhan hingga 427 Agustinus menghasilkan 232 buku, belum
terhitung kotbah-kotbah dan surat-suratnya. Setelah mengalami sakit keras, Agustinus
meninggal pada 28 Agustus 430 pada usia 76 tahun. Ada yang mengatakan bahwa ia
meninggal dunia persis saat orang-orang vandal meruntuhkan tembok kota hippo ia
disebut-sebut mendorong para warga kota untuk menahan serangan, terutama atas
dasar bahwa oran-orang vandal adalah penganut bidah Arian.[3]
Seluruh
pemikiran Agustinus diarahkan menuju Tuhan. Baginya, Kristen adalah sumber
kebenaran. Perlu kejelasan apakah kebenaran tersebut hanya dapat diwahyukan
dengan iman atau apakah kebenaran itu juga dapat ditemukan dengan rasio. Rasio
dan iman, menurut Agustinus, tidak dapat dipisahkan. Rasio diletakkan dalam
iman dan dalam iman diletakkan rasio. Dengan demikian, pengetahuan dan iman beriringan
pada jalan yang sama, jalan menuju
Tuhan.
Pemikiran
yang terkenal dari Agustinus dalam termuat karya besarnya, yang berjudul “De
Civitate Dei” atau Tentang Negara Tuhan. Buku ini merupakan pembelaan terhadap
agama Kristen dan suatu polemik dengan kaum tak beragama. Dalam karya ini,
Agustinus memberikan gambaran adanya dua kota atau negara, yaitu di satu pihak
Civitas Dei (Negara Tuhan) dan di lain pihak ada Civitas Terrena atau Diaboli
(Negara Duniawi atau Negara Iblis). Negara Tuhan adalah negara yang sempurna,
yang ideal sehingga dipuji oleh Agustinus. Negara duniawi adalah negara yang
serba kekurangan, yang brengsek sehingga ditolaknya. Negara Tuhan bukanlah negara
dari dunia ini dan ada di dunia ini, namun semangatnya bisa dimiliki sebagian
dan diusahakan oleh beberapa orang di dunia ini untuk mencapainya. Agustinus
memandang gereja sebagai bayangan dari Civitas Dei di dunia ini, meliputi
seluruh dunia.
Bagi
Agustinus, negara dunia dan gereja tidak sepenuhnya sama dengan pengertian
Negara Tuhan dan Negara Duniawi. Namun, kerajaan duniawi kebanyakan adalah
Civitas Diaboli benar-benar. Negara duniawi lahir karena manusia telah
terjerumus ke dalam keadaan dosa, sebagaimana ditunjukkan oleh salah satu
cerita sejarah dalam Kitab Wasiat Lama.
Perbudakan itu pun adalah akibat langsung dari padanya.[4]
Jika dianalisis, aliran
yang masuk kedalam pemikiran Agustinus adalah hukum kodrat. Karena dia
mempresentasika segala nya yang ada di dunia ini berdasarkan agama dan tuhan.
Bahkan dia memiliki pemikiran dengan negara Tuhan sebagai negara yang sempurna.
[1] Adrianus Sunarko, 2016, Agustinus, Makalah:Komunitas Salihara.
Hlm. 1-2.
[2] Ibid, Hlm. 2.
[3] Beltasar Pakpahan, 2018, Agustinus, Dosa Awal, Academia.edu.
[4] Mulyono, 2014, Latar Belakang Pemikiran Modern, Modul 1
Universitas Terbuka, hlm.20-21.
No comments:
Post a Comment