Nama
Jeremy Bentham sangat populer di kalangan masyarakat Inggris hingga sekarang
ini. Ia lahir pada tanggal 15 Februari 1748 di London, Inggris. Ayah dan
kakeknya berprofesi sebagai jaksa yang berkecimpung di bidang hukum. Latar
belakang profesi ini membuat Bentham memiliki minat yang sangat tinggi terhadap
masalah hukum sejak ia kecil. Ia lalu menempuh pendidikan hukum di Oxford dan
memperoleh kualifikasi terakhir sebagai seorang barrister atau advokat di
London. Hukum pula yang memberikan kontribusi besar mengharumkan namanya hingga
memasuki abad ke21 ini.[1]
Kondisi
sosial politik yang didominasi oleh berbagai praktik ketidakadilan sosial di
zamannya mendorong Bentham sebagai seorang mahasiswa hukum untuk peduli pada
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan moralitas publik. Ia terinspirasi
untuk menulis banyak esai yang berkaitan dengan problem etika, politik, dan
hukum yang memiliki relevansi praktis. Karena memiliki pemikiran yang luas, ia
dipercayakan menjadi pemimpin kelompok filsuf
radikal (philosophical radicals) yang menjadi ujung tombak (avant garde)
dari gerakan reformasi liberal di Inggris. Gerakan ini banyak menyoroti
masalah-masalah seputar pendidikan, hukum tentang aktivitas seksual, praktik
korupsi dalam institusi-institusi publik, penyensoran dan pemenjaraan para pelaku
kejahatan alias narapidana di Inggris.[2]
Bentham
merupakan salah seorang filsuf besar yang beraliran empirisme yang memiliki
pengaruh di bidang moral dan politik. Pemikiran filsafat hukum Bentham
dipengaruhi oleh para filsuf sebelumnya. Gagasan penting Bentham tentang The
Greates Happines Principle sangat kuat dipengaruhi oleh nama-nama filsuf
seperti Protagoras, Epicurus, John Locke, David Hume, Montesquieu dan Thomas Hobbes.
Sebagai filsuf pendiri utilitarisme Inggris, Bentham tumbuh menjadi seorang
pemikir brilian yang menanamkan pengaruh kukuh bagi para filsuf pelanjut
tradisi sesudahnya. Beberapa nama yang dapat disebutkan antara lain John Stuart
Mill, Hendry Sidgwick, Michael Foucault, Peter Singer, John Austin, dan Robert
Owen.
Jeremy
Bentham menutup usianya alias wafat pada tanggal 6 Juni 1832 dan mewariskan pemikiran
hukum luar biasa yang terus dianuti banyak kalangan hukum dan politisi hingga
dewasa ini walaupun tidak sedikit kritik yang menyerang pemikiran-pemikirannya.
Selama hidupnya ia peduli pada kajian-kajian filosofis mendalam tentang
paradigma keadilan hukum yang ideal bagi manusia.
Jeremy
Bentham merupakan penggagas dari utilitarianism yang juga dikembangkan oleh
John Stuart Mill. Dalam utilitarianisme, tujuan perbuatan adalah memaksimalkan
kegunaan atau kebahagiaan untuk sebanyak mungkin orang. Sementara itu,
deontologi adalah sistem eka yang dak mengukur baik buruknya suatu perbuatan berdasarkan
hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan
perbuatan tersebut. Sistem ini dak memfokuskan kepada tujuan dari suau
perbuatan, melainkan semata-mata wajib daknya perbuatan tersebut dilakukan.[3]
Tujuan
hukum adalah untuk mencapai dan menjamin kebahagiaan bagi masyarakat ( the greatest happiness
of the greatest number ) .
Menurut ulitarianisme, kriteria baik dan buruk yang harus ada di dalam
hukum harusnya berasal dari kebahagiaan itu sendiri. Semua instusi politik dan
publik harus dinilai berdasarkan apa yang dikerjakannya, bukan oleh ide-idenya.
Sehingga yang dinilai adalah kemampuan mereka dalam memberikan kebahagiaan
kepada masyarakat, bukan karena kesesuaiannya dengan hak-hak alamiahnya atau
keadilan yang mutlak. Utilitarianisme didasarkan kepada doktrin hedonisme yang
memandang bahwa manusia adalah makhluk yang berkesadaran, makhluk yang memiliki
perasaan dan sensivitas. Prinsip kemanfaatan ditujukan untuk menguji dan mengevaluasi
segala kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Fungsi negara
menurut ulitarianisme harus merealisasikan kebahagiaan sebanyak banyaknya bagi
masyarakat dan ini merupakan fungsi alat, bukan fungsi tujuan.
Bentham
dak mengakui hak asasi individu dan oleh karena itu, Bentham menempatkan
keadilan hanya sebagai subordinat dari kemanfaatan (a subordinate aspect of
ulity). Dalam suatu undang-undang, keadilan merupakan bagian implisit dari
kemanfaatan. Oleh karena itu, bagi Bentham, keadilan adalah sesuatu yang
ditetapkan di dalam undang-undang. Bentham dak mengakui keadilan sebagai hak
asasi manusia baik secara umum maupun khusus, karena dia tidak mengakui adanya
hak-hak alamiah (natural rights). Dalam karyanya, Anarchical Fallacies, Bentham
mengkritik Deklarasi Perancis mengenai hak asasi manusia dan menganggapnya
hanya sebagai retorika kosong. Oleh karena itu Bentham menekankan agar
undang-undang mencerminkan kebahagian masyarakat yang berbentuk keamanan
(security) , kesetaraan hidup (subsistence),
kecukupan (abundance), dan kesetaraan (equality).
Jika
dianalisis, pemikiran Bentham masuk ke dalam aliran interessesjurisprudensz
karena tujuan hukum menurut bentham adalah untuk mencapai kebahagiaan
masyarakat. Dan kabahagiaan ini merupakan sebuah kepentingan yang harus dicari
oleh setiap individu. Ini sangat sesuai denga aliran interressenjurisprudenz
yang memiliki kepentingan untuk dicapai.
[1] Frederikus Fios, 2012, Keadilan Hukum Jeremy Bentham Dan
Relevansinya Bagi Praktik Hukum Kontemporer, HUMANIORA Vol. 3 no.1, hlm.
301.
[2] Ibid.
[3] Atip Latipatulhayat ,2015, Khazanah:Jeremy Benthem, PADJADJARAN
Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 2, hlm. 415.
No comments:
Post a Comment