Thursday, March 14, 2019

BIOGRAFI Jeremy Bentham BESERTA PEMIKIRAN DAN ALIRAN FILSAFAT HUKUM

Nama Jeremy Bentham sangat populer di kalangan masyarakat Inggris hingga sekarang ini. Ia lahir pada tanggal 15 Februari 1748 di London, Inggris. Ayah dan kakeknya berprofesi sebagai jaksa yang berkecimpung di bidang hukum. Latar belakang profesi ini membuat Bentham memiliki minat yang sangat tinggi terhadap masalah hukum sejak ia kecil. Ia lalu menempuh pendidikan hukum di Oxford dan memperoleh kualifikasi terakhir sebagai seorang barrister atau advokat di London. Hukum pula yang memberikan kontribusi besar mengharumkan namanya hingga memasuki abad ke21 ini.[1]
Kondisi sosial politik yang didominasi oleh berbagai praktik ketidakadilan sosial di zamannya mendorong Bentham sebagai seorang mahasiswa hukum untuk peduli pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan moralitas publik. Ia terinspirasi untuk menulis banyak esai yang berkaitan dengan problem etika, politik, dan hukum yang memiliki relevansi praktis. Karena memiliki pemikiran yang luas, ia dipercayakan menjadi pemimpin kelompok filsuf  radikal (philosophical radicals) yang menjadi ujung tombak (avant garde) dari gerakan reformasi liberal di Inggris. Gerakan ini banyak menyoroti masalah-masalah seputar pendidikan, hukum tentang aktivitas seksual, praktik korupsi dalam institusi-institusi publik, penyensoran dan pemenjaraan para pelaku kejahatan alias narapidana di Inggris.[2]
Bentham merupakan salah seorang filsuf besar yang beraliran empirisme yang memiliki pengaruh di bidang moral dan politik. Pemikiran filsafat hukum Bentham dipengaruhi oleh para filsuf sebelumnya. Gagasan penting Bentham tentang The Greates Happines Principle sangat kuat dipengaruhi oleh nama-nama filsuf seperti Protagoras, Epicurus, John Locke, David Hume, Montesquieu dan Thomas Hobbes. Sebagai filsuf pendiri utilitarisme Inggris, Bentham tumbuh menjadi seorang pemikir brilian yang menanamkan pengaruh kukuh bagi para filsuf pelanjut tradisi sesudahnya. Beberapa nama yang dapat disebutkan antara lain John Stuart Mill, Hendry Sidgwick, Michael Foucault, Peter Singer, John Austin, dan Robert Owen.
Jeremy Bentham menutup usianya alias wafat pada tanggal 6 Juni 1832 dan mewariskan pemikiran hukum luar biasa yang terus dianuti banyak kalangan hukum dan politisi hingga dewasa ini walaupun tidak sedikit kritik yang menyerang pemikiran-pemikirannya. Selama hidupnya ia peduli pada kajian-kajian filosofis mendalam tentang paradigma keadilan hukum yang ideal bagi manusia.
Jeremy Bentham merupakan penggagas dari utilitarianism yang juga dikembangkan oleh John Stuart Mill. Dalam utilitarianisme, tujuan perbuatan adalah memaksimalkan kegunaan atau kebahagiaan untuk sebanyak mungkin orang. Sementara itu, deontologi adalah sistem eka yang dak mengukur baik buruknya suatu perbuatan berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Sistem ini dak memfokuskan kepada tujuan dari suau perbuatan, melainkan semata-mata wajib daknya perbuatan tersebut dilakukan.[3]
Tujuan hukum adalah untuk mencapai dan menjamin kebahagiaan bagi masyarakat  ( the greatest  happiness  of  the greatest  number ) .  Menurut ulitarianisme, kriteria baik dan buruk yang harus ada di dalam hukum harusnya berasal dari kebahagiaan itu sendiri. Semua instusi politik dan publik harus dinilai berdasarkan apa yang dikerjakannya, bukan oleh ide-idenya. Sehingga yang dinilai adalah kemampuan mereka dalam memberikan kebahagiaan kepada masyarakat, bukan karena kesesuaiannya dengan hak-hak alamiahnya atau keadilan yang mutlak. Utilitarianisme didasarkan kepada doktrin hedonisme yang memandang bahwa manusia adalah makhluk yang berkesadaran, makhluk yang memiliki perasaan dan sensivitas. Prinsip kemanfaatan ditujukan untuk menguji dan mengevaluasi segala kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Fungsi negara menurut ulitarianisme harus merealisasikan kebahagiaan sebanyak banyaknya bagi masyarakat dan ini merupakan fungsi alat, bukan fungsi tujuan.
Bentham dak mengakui hak asasi individu dan oleh karena itu, Bentham menempatkan keadilan hanya sebagai subordinat dari kemanfaatan (a subordinate aspect of ulity). Dalam suatu undang-undang, keadilan merupakan bagian implisit dari kemanfaatan. Oleh karena itu, bagi Bentham, keadilan adalah sesuatu yang ditetapkan di dalam undang-undang. Bentham dak mengakui keadilan sebagai hak asasi manusia baik secara umum maupun khusus, karena dia tidak mengakui adanya hak-hak alamiah (natural rights). Dalam karyanya, Anarchical Fallacies, Bentham mengkritik Deklarasi Perancis mengenai hak asasi manusia dan menganggapnya hanya sebagai retorika kosong. Oleh karena itu Bentham menekankan agar undang-undang mencerminkan kebahagian masyarakat yang berbentuk keamanan (security) ,  kesetaraan hidup (subsistence), kecukupan (abundance), dan kesetaraan (equality).
Jika dianalisis, pemikiran Bentham masuk ke dalam aliran interessesjurisprudensz karena tujuan hukum menurut bentham adalah untuk mencapai kebahagiaan masyarakat. Dan kabahagiaan ini merupakan sebuah kepentingan yang harus dicari oleh setiap individu. Ini sangat sesuai denga aliran interressenjurisprudenz yang memiliki kepentingan untuk dicapai.




[1] Frederikus Fios, 2012, Keadilan Hukum Jeremy Bentham Dan Relevansinya Bagi Praktik Hukum Kontemporer, HUMANIORA Vol. 3 no.1, hlm. 301.  
[2] Ibid.
[3] Atip Latipatulhayat ,2015, Khazanah:Jeremy Benthem, PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum Vol. 2 No. 2, hlm. 415.

No comments:

Post a Comment