John
Stuart Mill adalah putra dari James Mill yang lahir di London pada tahun1806.
Mill muda tidak pernah sekolah, namun ayahnya memberi suatu pendidikan yang
sangat baik. Terbukti sejak kecil usia 3 tahun sudah diajari bahasa Yunani dan
bahasa Latin pada usia 8 tahun, serta ekonomi politik dan logika (termasuk
karya asli Aristoteles) pada usia 12 tahun dan mendiskusikannya dengan ayahnya.
Selanjutnya Mill mempelajari ekonomi, Demonthenes dan Plato khususnya
padametode dan argumentasi.[1]
Sejak
kecil John Stuart Mill juga mendapatkan pendidikan langsung dari pamannya
Jeremy Betham. Sehingga tidak mengherankan ketika berusia 20 tahun, Mill sudah
terkenal sebagai pemimpin gerakan utilitarianisme yang kritis. Disamping itu,
ketika bekerja di India Company, Ia selalu meluangkan banyak waktu untuk
melakukan pengembaraan intelektual dan menyebarkan ajaran utilitarianisme
melalui surat kabar dan jurnal.
John
Stuart Mill merupakan pelopor teori ajaran utilitarianism bersama dengan
pamannya yaitu Jeremy Bentham. Utilitarianisme menyakini bahwa manusia adalah
makhluk sosial yang selalu termovasi dalam hidupnya untuk mendapatkan
kebahagiaan dan menjauhi ketidaksenangan dan kebahagiaan individual itu
melibatkan individu lainnya yang untuk melakukannya memerlukan pengaturan.
Dengan demikian, utilitarianisme sangat erat kaitannya dengan etika praktis dan
juga politik praktis.
Tujuan
hukum adalah untuk mencapai dan menjamin kebahagiaan bagi masyarakat ( the greatest happiness
of the greatest number ).
Menurut ulitarianisme, kriteria baik dan buruk yang harus ada di dalam
hukum harusnya berasal dari kebahagiaan itu sendiri. Semua instusi poltiik dan
publik harus dinilai berdasarkan apa yang dikerjakannya, bukan oleh ide-idenya.
Sehingga yang dinilai adalah kemampuan mereka dalam memberikan kebahagiaan
kepada masyarakat, bukan karena kesesuaiannya dengan hak-hak alamiahnya atau
keadilan yang mutlak. Ulitarianisme didasarkan kepada doktrin hedonisme yang
memandang bahwa manusia adalah makhluk yang berkesadaran, makhluk yang memiliki
perasaan dan sensivitas. Prinsip kemanfaatan ditujukan untuk menguji dan mengevaluasi
segala kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Fungsi negara
menurut ulitarianisme harus merealisasikan kebahagiaan sebanyak banyaknya bagi
masyarakat dan ini merupakan fungsi alat, bukan fungsi tujuan.[2]
John
Stuart Mill berpendapat bahwa meskipun standar keadilan itu harus didasarkan
kepada nilai kemanfaatannya, namun esensi keadilan itu harus berasal dari dua
perasaan yaitu dorongan mempertahankan diri dan perasaan simpati.[3]
Rasa keadilan juga dimaksudkan sebagai imbalan atau bahkan balasan atas tindakan
kejahatan. Hasrat membela korban kejahatan, bukan hanya didasarkan kepada
alasan personal, tapi juga karena perbuatan tersebut menyakini anggota
masyarakat lainnya dan kita bersimpati kepadanya. sekaligus merasakan
seandainya hal serupa menimpa diri kita. Keadilan ini, menurut Mill, mencakup
semua prasyarat moral yang diperlukan dalam kehidupan yang dianggap sebagai
sesuatu yang sakral dan merupakan sebuah kewajiban.
Jika
dianalisis, pemikiran John Stuart Mill lebih masuk ke dalam aliran
interessenjurisprudenz karena Mill dan pamannya Jeremy Bentham merupakan
pengembang dari aliran ini. Seperti pernyataan keduanya bahwa hukum memiliki
tujuan untuk memberikan kebahagiaan dan manfaat kepada masyarakat. Dan menurut
Mill manfaat disini harus berdasarkan keadilan dengan perasaan.
[1] Anastasia Puspita Wardani, 2012,
John Stuart Mill; Utilitarianisme,
Scribd, hlm. 8.
[2] Atip Latipatulhayat, 2015, Khazanah: Jeremy Bentham Utilitarianism,
Jurnal Ilmu Hukum Padjadaran, hlm. 419.
[3] John S. Mill,1957, Ulitarianism, New York, hlm. 63.
No comments:
Post a Comment